majalahtren.com – Dampak Psikologis Konten Prank pada Anak, Efeknya Bisa Jangka Panjang. Konten prank makin segudang beredar di media sosial. Korbannya tidak sekedar orang dewasa, tapi juga anak-anak. Bersama dengan kemampuan menarik penonton gara-gara tingkahnya yang diakui lucu, berlimpah anak kecil dijadikan objek untuk materi konten lelucon.
Tetapi, apakah Kamu dulu mempertimbangkan pengaruh konten prank terhadap psikologi anak itu? melansir CNA Lifestyle, Jumat, 7 Oktober 2022, konten prank anak ditanggapi dua respons yang saling bertolak belakang. Yang satu prihatin bersama kesejahteraan sang anak, yang lainnya yakin tersebut bukan wajib dikhawatirkan.
“Sharenting”, suatu neologisme untuk berbagi konten sensitif berkenaan anak-anak di Internet, kerap diperiksa lewat lensa etika dan keamanan global maya, namun sedikit yang menjelaskan berkaitan dampaknya pada psikologi anak. CNA Lifestyle berbicara bersama Dr Lin Hong-Hui, psikolog klinis primer di The Psychology Atelier dan seorang dosen di Universitas Teknologi Nanyang, untuk mengungkap hal tersebut.
“Ketika seorang anak jalankan sesuatu yang murni dan polos, mereka secara intuitif mengekspresikan keperluan mereka akan rasa menginginkan memahami dan eksplorasi,” kata Lin.
“Terlampau menggembirakan bagi orangtua untuk nikmati kelucuan mereka dan mengekspresikan kebanggaan mereka lewat rekaman dan berbagi peristiwa,” sambung Lin.
Dia memberikan, bahwa segala sesuatunya bukan hitam dan putih, dan sejauh mana mereka mengandalkan media sosial untuk hubungan orangtua-anak tersebut vital. lin mengaku prihatin ketika minat dan perasaan positif orangtua sering ditunjukkan lewat cara-cara merekam dan menyebarluaskan hasilnya.
Wajib ‘Tampil’
Tanpa mengerti, orangtua bisa mengirim pesan kepada anak mereka bahwa untuk terima perhatian dan kasih sayang, sang anak wajib ‘Tampil’. Misalnya, seorang anak yang meniup bunga dandelion bersuka cita selagi memirsa kepingan bunga tersebut berterbangan. Lalu, orangtua meminta anak itu lakukan hal tersebut kembali dan orangtua mengeluarkan gawai untuk merekamnya.
Menurut Lin, pesan itu ketika diinternalisasi mampu mengomunikasikan kebalikan berasal dari cinta tanpa syarat. “Harga diri (Self-Worth) dibangun di atas cinta dan penerimaan seorang anak sebagai pribadi, titik. Seorang anak memadai baik, bukan cuman ketika mereka berperilaku baik atau menyatakan kondisi hati yang positif,” jelasnya.
“Kecuali perasaan positif orangtua mengenai bersama keadaan ini, anak-anak kemungkinan merasa bahwa jadi diri sendiri saja bukan lumayan,” ia menyambung.
Bukan cuman rasa senang cita anak yang direkam dan disebarluaskan, kini anak pun masuk didalam konten prank protesis orangtuanya. Sebagian tayangan videonya tersebar luas di Tiktok, layaknya prank bersama filter melodi tertawa hantu di Tiktok. Didalam konten tersebut, anak-anak dikunci di suatu ruangan bersama dengan gawai dan filter “Hantu” yang diaktifkan agar muncul di kamera depan.
Lebih dari satu anak hanyalah merinding, tapi yang lain terlihat berteriak dan berjuang untuk melarikan diri. Konten tersebut di antara materi yang mengundang kecaman pengguna lain.
Goyahkan 2 Aspek Kritis
menurut Lin, kala anak ketakutan atau tertekan, yang dibutuhkan mereka adalah pemberian emosional. Maka ketika orangtua malah merekam didalam video, mereka memposisikan diri sebagai pengamat kesusahan anak mereka, tidak pihak yang semestinya sediakan bantuan emosional. Hal tersebut, sambung dia, menyadari mampu merusak kepercayaan anak kepada orangtuanya.
“Kecuali seorang anak paham-mengerti bukan suka, self-conscious, atau malu, mereka membutuhkan orangtua mereka untuk berhenti merekam dan menyesuaikan diri atau attune bersama dengan mereka,” ia beri tambahan.
Menurut Lin, orangtua kala ini semestinya punyai attunement, yakni kemampuan orangtua untuk membaca kondisi emosi anaknya dan mencukupi kebutuhannya. Hal tersebut membangun koneksi dan menumbuhkan rasa diri untuk anak. Keterampilan attunement akan mengembangkan dua aspek kritis terhadap anak, yaitu rasa harga diri anak dan kemampuan mereka untuk yakin.
“Ini adalah dua dasar berasal dari pertumbuhan psikologis berasal dari diri yang kondusif. Ketika orangtua kerap melewatkan, mengabaikan, atau keliru membaca keperluan anak, hal tersebut menimbulkan keraguan di benak mereka,” ungkap Lin.
“Anak akan layaknya, ‘Saya bukan merasa baik, tapi kenapa Ibu dan Ayah bukan dapat mendukung saya? Bisakah saya mempercayai orang terdekat saya untuk merawat saya? Mereka bukan tahu saya – apakah gara-gara tersedia yang tidak benar bersama dengan saya?'” sambung dia.
Pikirkan Era Depan Anak
“Kerap terpapar media sosial juga membentuk kesan anak-anak terkait global dan mempertinggi perbandingan sosial. Seorang anak barangkali mulai mendasarkan harga dirinya terhadap persepsi orang lain lewat komentar dan like. Apakah global mereka baik atau kritis? Bagaimana mereka kudu bersikap ‘Layak’ di global ini?” kata Lin.
Lin mengedepankan bahwa momen yang berarti secara emosional sanggup bukan dilaporkan ketika anak-anak bukan didalam usia pertumbuhan untuk melakukannya. Anak-Anak yang bukan sanggup mempercayai orangtua akan merasa tertekan dan stres di didalam dirinya. Bak pengaruh bola salju, hal tersebut akan berisiko di dalam beragam aspek kehidupan.
Dia mengakui kabanyakan orangtua bermaksud baik bersama dengan mengunggah anak-anak mereka sebagai konten di media sosial. Tapi, ia meminta supaya orangtua berpikir sejenak sebelum menekan tombol ‘Bagikan’.
“Apakah saya baik-baik saja kalau seseorang mengambil dan membagikan video saya bersama cara ini? Kalau saya berbagi moment lucu, apakah tersebut mesti berupa video mereka di dalam kesusahan? Kecuali saya konsisten update keluarga saya, apakah video ini mesti? Terkecuali untuk kenang-kenangan, apakah kudu dipublikasikan?” kata Lin.
Orangtua sanggup menyeting akun media sosialnya jadi standing pribadi atau kenakan faedah “Close friend” membatasi konten mereka ke audiens yang lebih kecil dan lebih tepercaya. Berita sensitif layaknya sebutan lengkap, lepas lahir, sekolah, tag lokasi, dan lebih-lebih paras anak-anak bisa disembunyikan.
“Sehingga berhati-hati, jangan dulu membagikan video atau foto yang berpotensi memalukan dan menghinakan. Pikirkan layaknya ini: Kecuali sekolah jaman depan, dewan beasiswa, atau recruiter pekerjaan memirsa ini, kesan layaknya apa yang akan mereka bentuk?” tahu Lin.